Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari (hijab hitam) mendengarkan keterangan saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (25/11/2020). JPU Kejaksaan Agung menghadirkan politikus NasDem Andi Irfan Jaya yang juga tersangka perkara ini dan mantan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking sebagai saksi. HARNAS.ID | BARRI FATHAILAH

HARNAS.ID – Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari diduga masih mendapat perlakuan istimewa oleh petinggi Kejaksaan Agung (Kejagung). Terpidana kasus suap dan gratifikasi Djoko Tjandra itu dikabarkan masih mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejagung.

Padahal, semestinya Pinangki harus dipindahkan ke Rutan Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur. Hal ini kembali memunculkan pertanyaan publik, ada apa Kejaksaan Agung dan Pinangki?

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpendapat, perlakuan spesial penahanan Pinangki bentuk disparitas penegakan hukum yang dilakukan Jaksa Agung Burhanuddin dan anak buahnya.

Terkait hal tersebut, Boyamin berencana melaporkan informasi ini ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak). Dia pun mendesak agar Pinangki segera dieksekusi ke Rutan Pondok Bambu.

“Kekhawatiran ada hal yang sengaja ditutupi diduga benar,” kata Boyamin, Jumat (30/7/2021).

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Pinangki Sirna Malasari 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada sidang banding, Senin (14/6/2021), memangkas hukuman Pinangki menjadi 4 tahun. 

Salah satu alasan hakim memangkas hukuman tersebut yakni terdakwa sebagai perempuan harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. Namun, Kejagung memutuskan tak mengajukan kasasi terkait putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Imbas dari putusan tersebut, hukuman Djoko Tjandra selaku pihak yang melakukan penyuapan pun dipangkas menjadi 3,5 tahun penjara. Menurut Boyamin, jika dirunut, sumber masalahnya adalah keengganan Jaksa Agung memerintahkan jaksa penuntut umum mengajukan kasasi.

“Ini bahkan terkesan tidak disuruh. Bisa jadi malah dilarang untuk mengajukan kasasi,” ujarnya.

Selama ini, tutur Boyamin, Jaksa Agung diam seribu bahasa, kendati banyak desakan hingga dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo agar memerintahkan Jaksa Agung mengajukan kasasi.

“Nyatanya tidak kasasi. Kajari Jakarta Pusat mengatakan tidak ada alasan untuk mengajukan kasasi. Padahal banyak alasan untuk mengajukan kasasi,” katanya.

Boyamin menyebut hal ini seharusnya dikembalikan pada sumber awalnya yakni keengganan Jaksa Agung yang tidak memerintahkan kasasi. “Itu yang kemudian saya meminta presiden untuk mencopot Jaksa Agung karena tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat,” tutur Boyamin.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini