Jiwasraya | ANTARA FILES

HARNAS.ID – Penyitaan aset kasus korupsi Jiwasraya-Asabri makin santer memunculkan protes di kalangan masyarakat. Kejaksaan Agung (Kejagung) berpotensi melanggar HAM dalam aksi penyitaan-perampasan aset masyarakat yang tidak terkait tindak pidana korupsi tersebut.

Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Trisakti Jakarta Yenti Garnasih berpendapat, jika penyidik menggunakan instrumen UU tindak pidana pencucian uang, aset yang disita harus harta kekayaan yang berasal dari kejahatan korupsi itu.

“Harus betul-betul dicari buktinya, bahwa aset yang disita berasal dari kejahatan korupsi. Maka, hanya harta kekayaan yang murni asalnya dari korupsi kasus tersebut yang layak disita,” kata Yenti dikutip pada webinar ‘Abuse Of Power Atas Aset Berkedok Penegakan Hukum’, Senin (9/8/2021).

JPU, ujar Yenti, harus betul-betul bisa menyampaikan hasil penelusurannya berikut dengan bukti-buktinya di dalam peradilan. Menurut Yenti yang juga menjabat Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki), perlu ada pembuktian oleh JPU mengapa ada aset pihak ketiga yang ikut disita dan dilelang dalam tindak pidana korupsi Jiwasraya maupun Asabri. 

“Sebab, ada hak seseorang secara perdata dalam sebuah kepemilikan aset. Terlebih, aset itu tidak ada kaitannya dengan perkara,” ujarnya.

“Mereka inilah yang harus dilindungi hak-haknya. Apalagi mereka tidak berkaitan dengan pihak yang masuk kepada tindak pidana korupsi nya, untuk itu kan ada yang namanya hukum acara sehingga para penegak hukum tidak dianggap melakukan abuse of power.”

Dalam tindak pidana korupsi, Yenti menyebut, sebenarnya ada perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan atas tindakan perampasan aset tersebut. Yakni pada pasal 19 UU Tindak Pidana Korupsi. Namun, belum terimplementasikan dengan baik di pengadilan. 

Secara logika Pasal 19 UU Tipikor ini menampung berbagai keberatan pihak ketiga, yang harapannya untuk mengetahui bisa tidak aset tak terkait perkara tidak dieksekusi dalam putusan hakim. Namun, anehnya seperti tidak ada sinergi. 

“Ini jadi tidak masuk akal bagi saya, untuk apa ada pengadilan jika pada akhirnya hakim seperti enggan melindungi hak pihak ketiga sebagaimana diamanatkan undang-undang. Lalu untuk apa ada Pasal 19,” katanya.

Berdasarkan perlindungan hukum pada Pasal 19 UU Tipikor, diberikan upaya terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan atas tindakan perampasan aset oleh penyidik untuk melakukan keberatan dengan melakukan pembuktian terbalik.

“Ini yang harus ada benang merahnya, sehingga tidak boleh ada warga negara yang tiba-tiba karena permasalahan orang lain lalu harta kekayaannya ikut disita bahkan dilelang. 

Dalam konteks ini, harus betul-betul ada aturannya dan penghitungannya, apabila terkait dengan saham perusahaan, juga harus sesuai. Jangan sampai penyitaan ini dilakukan sedemikian rupa yang nanti dapat disebut sebagai abuse of power. Lebih buruk lagi bila penyitaan ini berdampak buruk bagi perusahaan.

“Karena penyitaan, perusahaan menjadi berhenti bahkan harus mem-PHK karyawannya,” ujarnya.

Terkait perkara Jiwasraya-Asabri, Yenti menilai bila benar modus yang digunakan adalah kejahatan pasar modal sebagaimana pernyataan jaksa, tidaklah sulit melakukan penelusuran aset-aset nasabah di pasar modal yang tak terkait kasus korupsi, sehingga tak perlu ikut disita.

“Saya perlu ingatkan, jangan sampai penerapan hukum dalam kasus ini menimbulkan efek berkaitan dengan perkembangan ekonomi yang sedang dibangun. Apalagi kita tahu saat ini Presiden Jokowi tengah menggalakan program pemulihan ekonomi nasional,” tutur Yenti.

Polemik ini tidak match dengan program pemulihan ekonomi nasional. Jika memang betul ada bukti, penyitaan-penyitaan ini tidak sesuai dengan prosedur hukum maka bisa dikatakan sebagai satu langkah abuse of power telah terjadi dalam proses penanganan kasus Jiwasraya-Asabri.

Kuasa Hukum PT JBU-PT TRAM, Haris Azhar menemukan keanehan dalam proses penyitaan yang dilakukan Kejaksaan Agung. “Anehnya aset setelah disita Kejaksaan Agung saham-saham itu nilainya menjadi nol. Dalam konteks bisnis eksyen, aset itu dialihkan kemana? Apakah ditahan itu aset hingga menjadi nol. Kalo aset menjadi nol, rugi dong. Kejaksaan Agung menyita untuk apa jika kemudian setelah melakukan penegakan hukum terhadap Jiwasraya, asetnya sudah nol!” kata Haris.

Yang paling runyam dan membahayakan dari situasi ini, kata Haris, yakni penyitaan oleh Kejagung terutama dalam peran dan fungsinya sebagai penyidik, terhadap aset terkait penanganan Jiwasraya-Asabri yang fokus pada nama-nama yang sama, yaitu Heru Hidayat dan juga Benny Tjokro serta beberapa nama yang lain. 

“Faktanya, ada dana program setting plan-nya karyawan PT PAL Indonesia Rp 220 miliar yang juga turut disita padahal mereka bukan nominee. Selain itu ratusan aset nasabah WanaArtha juga bukan nominee. Lalu ada pengelolaan tambang batubara di Kutai di bawah bendera perseroan PT GBU termasuk aset dan barang operasional. Argumentasinya adalah, saham-saham tersebut tidak dimiliki atau nominee terdakwa Heru Hidayat,” kata Haris.

Istilah nominee yang dilekatkan kepada pihak, yang kemudian saham atau asetnya atau perusahaannya disita itu ternyata tidak dapat dibuktikan atau dijelaskan di muka pengadilan. 

“Saya coba komunikasi dengan sejumlah nasabah dan para pihak yang duduk sebagai pihak ketiga itu. Lalu dapat tanda tanya besar dalam benak saya. Sebagaimana yang kita ketahui, hanya penyidik atau kejaksaan saja yang memilik akses data terkait aset. Namun mengapa yang selalu muncul ke media dana publik hanya nilai bombastinya dari kerugian negara,” katanya.

Haris mempertanyakan, “Sebenarnya yang merugikan itu siapa? Apa perannya orang-orang yang kemudian saham atau asetnya disita? Orang-orang ini kemudian kehilangan akses terhadap aset milinya yang menjadi sitaan jaksa.”

Haris pun menyebut jika saat ini tidak ada satu mekanisme yang dijamin oleh hukum, yang bisa memfasilitasi perlindungan atas aset pihak ketiga. Satu-satunya yang bisa memberikan angin segar, lanjutnya, yaitu temuan dari ombudsman, namun itupun bila hasil temuannya ditindaklanjuti. 

Tahun lalu, ombudsman sudah mengatakan, memang ada potensi penyalahgunaan kewenangan oleh kejaksaan dalam proses penyidikan penanganan kasus Jiwasraya. 

“Saya ingin tekankan bahwa penanganan korupsi itu tidak boleh semena-mena, sekadar menyita, merampas dan melelang,” katanya.

Hal ini, lanjut Haris, seolah negara tidak punya dana, lalu tiba-tiba mengambil aset Jiwasraya dan akhirnya nasabah yang harus bayar. Seolah negara lupa bahwa ada keterlibatan keringat, pemikiran, air mata atau mungkin juga darah yang telah berkontribusi dalam proses kapitalisasi aset nasabah.

“Maka percuma teriak, bahkan bikin simbolisasi Omnibus Law untuk mengundang investasi. Omong kosong pemerintah itu,” tutur Haris.

Membuat Omnibus Law, kata dia, hanya untuk menunjukkan bahwa penting ada pembangunan ekonomi dan bisnis, tetapi ada modal dari anak bangsa yang justru diberangus oleh para penegak hukum. Para penyidik ini tidak bisa menunjukkan korelasi antara pelaku dengan asetnya sehingga menyebar tuduhan bahwa pemiliknya adalah nominee dari terpidana. 

“Tujuannya, agar memudahkan untuk mengambil harta atau asetnya guna menutupi kerugian negara yang sebenarnya tidak nyata karena BPK masih menghitung potensi, bukan riil,” ujarnya.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini