Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana | IST

HARNAS.ID – Pemerintah Indonesia punya skema pendanaan yang variatif dalam mencari dukungan investasi antar negara maupun lembaga internasional untuk pengembangan setrum bersih.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah akan mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 untuk menarik pendanaan yang inovatif dan menguntungkan.

“Indonesia terbuka bagi kerja sama internasional, termasuk dalam urusan investasi asing, skema pendanaan yang inovatif, serta transfer teknologi berdasarkan semangat kemitraan yang setara dan saling menguntungkan,” ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Senin (21/2/2022). 

Dadan menjelaskan bahwa pemerintah mendorong pendanaan campuran atau blended finance dan sedang menyusun peraturan presiden terkait skema tersebut.

Menurut dia, kelak Indonesia akan memanfaatkan pendanaan tidak hanya dari dalam negeri atau berbasis komersial perbankan, tetapi juga dari filantropi hingga perusahaan multinasional yang komit mendukung pengembangan setrum bersih di Indonesia.

“Model pendanaan blended finance merupakan dana perwalian perubahan iklim Indonesia akan memfasilitasi perolehan dana dari para donor, yaitu Asian Development Bank, European InvestmentBank (hibah/pinjaman) dan World Bank,” ujar Dadan.

Selanjutnya, SDG Indonesia Satu merupakan platform terintegrasi untuk mendukung proyek terkait Sustainable Development Goals (SDG) yang terdiri atas empat pilar, yaitu fasilitas pengembangan, de-risking, pembiayaan, dan ekuitas.

Kemudian, investasi anggaran non pemerintah yang mendorong sektor swasta dalam pengembangan proyek infrastruktur strategis nasional. Skema ini memfasilitasi investor dalam pembiayaan ekuitas (pembiayaan ekuitas langsung dan instrumen investasi ekuitas).

Adapula Tropical Landscape Finance Facility(TLFF) yang bertujuan memanfaatkan pendanaan publik untuk penggunaan lahan yang berkelanjutan, termasuk di bidang restorasi ekosistem dan investasi setrum bersih.

Selain itu, ada skema kerja sama pemerintah dan badan usaha atau Public Private Partnership (KPBU/PPP) adalah kontrak jangka panjang antara pihak swasta dan entitas pemerintah untuk menyediakan aset layanan publik berupa project development facility, viability gap found, penjaminan infrastruktur dan pembayaran ketersediaan.

Terakhir, skema pendanaan dari perbankan komersial melalui kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan persentase tertentu dari portofolio kredit untuk pembiayaan proyek hijau.

Dadan mengungkapkan kebutuhan investasi untuk mencapai target netralitas karbon memerlukan biaya besar. Apabila Indonesia ingin bebas dari emisi karbon di 2060, maka secara total membutuhkan sekitar 1 triliun dolar AS atau 29 miliar dolar AS per tahun.

Angka tersebut terdiri dari kebutuhan investasi di pembangkit setrum bersih sebesar 1.042 miliar dolar AS dan transmisi yang mencapai 135 miliar dolar AS. “Transmisi ini biasanya satu paket (pembangunan pembangkit) supaya bisa beroperasi,” jelas Dadan. 
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa biaya pengembangan pembangkit setrum bersih semakin murah dan efisien.

Berdasarkan laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), biaya pembangunan pembangkit setrum bersih di tahun 2020 mengalami penurunan cukup signifikan secara global selama 10 tahun terakhir.

Bahkan biaya operasi pembangkit setrum bersih baru terutama pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), termasuk biaya integrasi dapat bersaing dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) eksisting skala 800 megawatt.

“Harga-harga pembangkit yang intermitten (surya dan angin) semakin menurun. Dalam waktu 10 tahun, turunnya hampir 80 persen dari 5.000 dolar AS per kWh menjadi 1.000 dolar AS per kWh. Bahkan lelang yang dilakukan oleh PLN sudah bisa menembus di bawah PLTU batu bara,” tutur Dadan.

Editor: Firli Yasya