Dirjen Bina Adwil Kemendagri Safrizal | IST

HARNAS.ID – Pengelolaan sampah menjadi masalah klasik bagi kemajuan sebuah kota. Hampir sebagian besar masyarakat perkotaan membuang sampah rumah tangga secara gelondongan tanpa memilah mana yang organik dan non-organik. Mereka mengandalkan tenaga kebersihan dan hanya tahu sampah itu akan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). 

Salah satu kawasan perkotaan yang mengalami permasalahan serupa adalah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianjar, dan Tabanan (Sarbagita). Wilayah ini merupakan denyut utama pariwisata Provinsi Bali. Sampah di sini berasal dari rumah tangga masyarakat setempat, serta para wisatawan domestik dan mancanegara. 

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Bali, jumlah sampah yang terkelola sebanyak 3.102,87 ton per hari atau 72,48 dari keseluruhan. Artinya, ada sekitar 1.178,13 ton sampah per hari yang tidak terkelola.  

Sebagai pembina kawasan perkotaan, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Bina Adwil Kemendagri) mengajak semua pihak, mulai dari pemangku kebijakan, industri, komunitas pecinta lingkungan, dan masyarakat ikut ambil bagian dalam upaya pengelolaan dan pengurangan sampah ke TPA. 

Menurut Dirjen Bina Adwil Kemendagri Safrizal, perlu ada kesadaran masyarakat dan industri di kawasan Sarbagita tentang pentingnya pengelolaan dan pemilahan sampah dari sumbernya. Dengan pola ini, maka beban pemerintah selaku yang mengurus sampah dari kawasan permukiman hingga TPA bisa berkurang. 

Dia mengimbau para wisatawan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Kebersihan Bali sejak dari pintu kedatangan, seperti bandara dan pelabuhan, serta tempat-tempat publik lainnya akan membuat masyarakat dan wisatawan nyaman. 

“Ini akan memberikan efek domino pada perekonomian, khususnya sektor pariwisata Bali,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (16/4/2022). 

Safrizal menerangkan, penanganan persoalan sampah di kawasan Sarbagita harus berkonsep ramah lingkungan, berkelanjutan, dan menggali potensi ekonomi dari daur ulang. Ini, ujar dia, memerlukan perencanaan, anggaran yang memadai, dan menemukan model bisnis yang tepat sehingga memberikan manfaat besar bagi perekonomian masyarakat. 

Pemerintah daerah (pemda) dan masyarakat Bali bisa menggunakan kearifan lokal dalam pengelolaan sampah. Sebenarnya sudah ada contoh pengelolaan mandiri. Masyarakat di Bali ada yang mengelola sampah organik dengan memasukkan ke lubang dengan panjang, lebar, dan kedalaman masing-masing 1 meter. 

Setiap rumah biasanya memiliki dua lubang di belakang rumah. Satu lubang untuk diisi selama 1-2 bulan. Jika sudah penuh, sampah baru akan dimasukkan ke lubang sebelahnya. Nanti, sampah di lubang yang lama dimanfaatkan menjadi kompos. 

“Pengelolaan mandiri seperti ini perlu direplikasi ke daerah-daerah lain,” papar Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendagri itu.

Konsep penanganan dengan kearifan lokal ini bisa merujuk pada falsafah Tri Hita Karana. Visi yang harus dikedepankan yakni: semesta adalah warisan untuk anak dan cucu kita di masa depan. 

Dia mengajak masyarakat melestarikan alam dan budaya dengan mengelola sampah untuk kehidupan yang berkelanjutan. Solusi yang bertumpu pada kearifan lokasi biasanya terlihat sederhana dan selalu dipandang sebelah mata karena skalanya yang kecil. 

“Padahal, jika diteliti lebih dalam lagi, pengelolaan sampah di rumah-rumah berdasarkan inisiasi masyarakat dan komunitas ini punya dampak besar terhadap pengurangan sampah,” tuturnya. 

Pemerintah dan masyarakat bisa menggalakkan kegiatan reduce, reuse, dan recycle (3R) dalam pengelolaan sampah. Sampah organik yang diolah menjadi kompos bisa digunakan untuk tanaman di sekitar rumah dan lingkungan. 

Bahkan, jika masyarakat bisa mengorganisasi di satu wilayah, bisa dijual untuk keperluan pertanian. Safrizal pun mendorong perangkat desa dan komunitas pecinta lingkungan untuk menjembatani daur ulang sampah plastik.

Masyarakat, kata Safrizal melanjutkan, perlu diberi pelatihan bagaimana memanfaatkan sampah plastik untuk membuat berbagai kerajinan tangan yang bernilai ekonomi tinggi. 

“Mungkin juga dibantu cara mengumpulkan sampah plastik dan menghubungkan dengan industri yang membutuhkan. Dengan demikian, sampah plastik tidak akan menumpuk di TPA dan mengurangi pencemaran lingkungan,” paparnya.

Safrizal mengingatkan pemda-pemda Sarbagita untuk serius dalam penanganan sampah ini, mengingat Bali akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada 15-16 November mendatang. 

Event besar ini harus bisa dimanfaatkan untuk promosi Bali sebagai destinasi wisata yang bersih, nyaman, dan aman kepada dunia. Ini akan membantu pemulihan sektor pariwisata yang terdampak Pandemi COVID-19. 

Untuk membahas pengelolaan sampah ramah lingkungan dan berkelanjutan, Ditjen Bina Adwil Kemendagri yang tergabung dalam Tim Pendampingan Percepatan Penanganan Sampah di Provinsi Bali dan stakeholder terkait akan menyelenggarakan Indonesia International Waste Expo (IIWAS) TriSenses Bali 2022 di Jimbaran, Bali, pada 17-20 April ini. 

Para pejabat, tokoh masyarakat, industri, dan komunitas pecinta lingkungan, nantinya akan menggaungkan #GILAsSampah (Gerakan Inovasi Langsung Aksi untuk bersama-sama tuntaskan Sampah). Ini sebagai upaya mendorong perubahan paradigma pengelolaan sampah berbasis sumber dan kolaborasi antar stakeholder. 

Salah satu bahasan acara yang didukung oleh lintas Kementerian/Lembaga, Pertamina, BRI, Google Cloud, SMI, Candra Asri, Elitery, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, PLN, frost & sullivan, Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), dan komunitas Pemerhati lingkungan dan kelompok relawan di Bali, adalah Sampah Dipilah Itu Duit.  

“Kami ingin mempertemukan pemda dan masyarakat dengan industri yang sukses mendaur ulang sampah dan menghasilkan uang,” pungkasnya. 

Editor: Firli Yasya