Biar Lambat, Asal Pelan, yang Penting Slow: Pendakian Gunung Sumbing (3)

Perkemahan di Pos 3 jalur pendakian Gunung Sumbing dipenuhi tenda pendaki yang tidak keburu mengejar menuju Pos 4 untuk menjelang puncak. I Foto: A Taufik Zaini

HARNAS.ID – Usai “ngos-ngosan” jantung antara base camp ke Pos I, barulah kami mulai pendakian sebenarnya menuju Pos 2. Situasi antara Pos 1 dan Pos 2 adalah seperti berjalan di tangga dengan kanopi. Kita melewati medan berbatu yang bisa dibilang tersusun rapi. Seperti menaiki tangga. Pepohonan tinggi, termasuk barisan pinus, menapis terpaan matahari bila mendaki pada siang hari. Namun, rute ini cukup panjang dan melelahkan. Boleh dibilang “bonus” jalan datarnya terlalu sedikit. Selebihnya terus menanjak. Normalnya, trek antara Pos 1 menuju Pos 2 di ketinggian 2.458 mdpl ditempuh sekitar 1,5 jam, bergantung kecepatan pendaki. Tapi kami menempuhnya selama dua jam. Di Pos 2 ini kami rehat nyaris sejam menit untuk mengisi energi, memakan makanan sebagai pelengkap makan pagi kami yang kesiangan.  

Nah, lepas dari Pos 2 menuju Pos 3 medannya campuran antara tanah dan batu, tapi sebenarnya lebih dominan medan tanah. Medannya mulai terbuka di sini. Kita seperti menyisir tepi buit demi bukit, agak berkelok, tentu menanjak tapi tidak curam. Di sisi kiri kita bukit, di sisi kanan medan terbuka untuk melihat pemandangan bebas.

Di sepanjang perjalanan terdapat beberapa sumber air berupa jalur sungai. Pendaki dapat memanfaatkan sumber air tersebut untuk persediaan air minum atau untuk membasuh muka. Pada musim hujan, tentu debit airnya bagus. Namun pada musim kemarau, sungai ini kemarau, kecuali terdapat beberapa genangan. Kami sendiri mendaki masih termasuk pada musim kemarau. Sebenarnya, pada jalur ini memang sudah tampak hamparan pemandangan Kota Magelang. Bahkan bila cuaca cerah terlihat pula Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, dan Ungaran. Namun, terkadang semak dan pohon menutupi pemandangan itu.

Karena memang kami mendaki dengan santai, maka menjelang sore, menjelang pukul empat, barulah tampak oleh kami Pos 3 pada bukit di seberang jurang. “Sebenarnya kita sudah berusaha tepat waktu, namun karena kami memandu para pendaki senior, maka kami harus menyesuaikan diri dengan moto dan irama mereka yaitu ‘biar lambat, asal pelan, yang penting slow’. Gitu deh,” jelas Rizky koordinator mountain guide pada rombongan kami.

“Sebenarnya, targetnya pukul dua siang kita sudah sampai Pos 3. Lalu lanjut ke Pos 4, ya tiba di Pos 4 sekitar Maghrib-lah. Cuma, karena kita bawa ‘orang tua’, ya apa boleh buat, kita ngalah aja, daripada kualat,” komentar Awaludin Fitrah, pendaki termuda di rombongan kami seraya bersungut-sungut.

Setelah berdiskusi sejenak, kami akhirnya memutuskan bermalam di Pos 3. Pertimbangannya, karena jika dipaksakan lanjut ke Pos 4 akan terlalu larut sampai di Pos 4, sehingga pengaturan dukungan logistik akan terganggu untuk bisa tepat waktu. Selain itu, kondisi “populasi” pendaki yang masuk Gunung Sumbing pada pekan itu termasuk salah satu puncaknya. Jalur “crowd”.

Persoalannya bukan hanya pada jalur, tetapi lahan berkemah di Pos 4 bisa dibilang melewati kapasitas tampung lahan.

Jangan dikira bahwa lahan berkemah yang dimaksud di Pos 4 adalah lahan datar. Sama sekali bukan. Hanya sedikit spot datar. Sisanya adalah tanah miring penuh semak. Dan kabar dari pemantau di Pos 4, sudah kehabisan spot untuk mendirikan tenda. Akhirnya kami putuskan untuk mendirikan tenda di Pos 3 untuk bermalam. Maka Rizky pun menginstruksikan tim pendahulu yang sudah berada di depan untuk segera mem-“booking” dan mendirikan tenda di Pos 3. Sementara, kami sendiri masih di seberang jurang Pos 3 dengan suasana mulai mendung petang dan angin bertiup keras.

Dan, meski Pos 3 sudah tampak di depan mata, bukan berarti kami langsung sampai. Karena kami masih harus melipir sisi bukit di kiri dan jurang di kanan, berkelok-kelok. Sekitar pukul lima petang barulah kami tiba di Pos 3 di ketinggian 2.368 mdpl.

Pos 3 sebenarnya tidak berada persis di trek pendakian. Dari jalur, harus turun sekitar 25 meter secara elevatif di punggung bukit. Di situ pun ternyata sudah bertaburan kemah-kemah pendaki di sekitar kami. Pos 3, yang konturnya pun miring, bahkan kadang bercampur semak dan rerumputan panjang yang licin, dipadati kemah pendaki.

“Ini begini, kita buat pengaturan tenda. Umar dan Gegen di tenda satu, paling bawah. Di atasnya, tenda dua, saya dan Taufik. Di sampingnya, Halid dan Yusuf. Sementara, Fitrah dan Hari kan anak muda… kita buatkan aja hammock di ranting-rating situ kali,” ujar Bohari sembari menunjuk sebuah sudut semak dan pepohonan. Sementara Awaluddin Fitrah dan Hari Baskoro yang disebut namanya cuma melongo.

Namun sejurus kemudian Rizky meng-update situasi, bahwa untuk Fitrah dan Hari sudah disiapkan tenda dekat tenda dapur tim.

Faktanya memang, perkemahan Pos 3 padat. Namun kamu terhibur juga bahwa begitu kami tiba di Pos 3, bukan saja tenda kami telah berdiri, tapi tim mountain guide Rizky telah menyiapkan minuman berupa teh dan jahe hangat dan potongan buah-buahan. Mereka tampak bekerja sigap dan antisipatif terhadap semua kemungkinan masalah atau perobahan skenario pendakian.

Namun yang kami tidak antisipasi, bahkan Ketika hari telah gelap, sekitar pukul 21 malam, di mana saya keluar tenda untuk buang air kecil, saya masih melihat titik-titik cahaya bergerak dari bawah. Artinya, masih ada ada rombongan pendaki masih bergerak menuju perkemahan Pos 3. Dan bisa dipastikan merfeka akan bermalam di Pos 3, tidak mungkin lanjut ke Pos 4. Pertanyaannya, jam berapa mereka bergerak dari base camp masing-masing? Entah dari Garung, Capit Parakan, Butuh, Mangli, Bowongso atau Sipetung. Namun jarang kami temui pendaki yang dari dua base camp terakhir.

Dan benar saja, pendaki masih berdatangan hingga pukul 22-23 malam memenuhi perkemahan Pos 3. Bahkan menjelang Subuh baru kami sadar, sebuah tenda telah dibangun di pintu tenda kami, saking tiada lagi lahan tersisa.

Editor: A Gener Wakulu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini