Partisi Terakhir Orkestra: Pendakian Gunung Sumbing (4)

Para pendaki di Puncak Sejati Gunung Sumbing bisa melihat pemandangan megah puncak-puncak gunung lainnya seperti Gunung Sindoro, Merapi, Merbabu, Ptau, Ungaran hingga Lawu I Foto: A Gener Wakulu/Harsnas.id

HARNAS.ID – Bulan dini hari telah bergeser jauh. Seperti disembunyikan layar hitam raksasa, entah kemana. Seperti sirna di balik batas pemandangan. Bersamaan, temperatur udara drop. Maka terbayanglah kehangatan tidur di kasur, di balik selimut. Tapi fakta pukul tiga pagi di Pos 3 adalah cuaca yang dingin dan terpaan angin. Keluar dari tenda adalah perjuangan. Sambutan di luar tenda sungguh tidak ramah, membekukan. Termasuk bila tangan kita tidak terlindungi. Dan itulah yang terjadi, karena sore sebelumnya ketika tiba di Pos 3, saya terpeleset pada rumput licin. Refleks, saya mencoba meraih batang kayu yang menyembul di balik rerumputan. Ternyata batang itu bekas dipatahkan, banyak sisi runcingnya. Dan ibu jari kanan saya pun tersayat cukup dalam, darah mengucur.

Setelah dibersihkan dengan semprotan sanitizer dan betadine, saya biarkan luka itu terbuka. Sebab bila dibungkus malah lama keringnya. Tapi itulah risikonya, saya tidak bisa menggunakan sarung tangan. Selain itu, karena tangan kanan digunakan untuk memotret, memegang dan mengoperasikan kamera, sulit dilakukan bila mengenakan sarung tangan. Akhirnya, saya hanya mengenakan sebelah sarung tangan, di kiri, Tentu saja tangan kanan agak beku. Tapi ini bukan pertama kali saya alami, bahkan juga di gunung-gunung yang lebih tinggi.

Namun syukurlah, sarapan yang telah disiapkan tim mountain guide membantu semangat kami. Bisa dibilang nyaris serempak, cahaya-cahaya lampu senter menyala di perkemahan. Para pendaki bergegas, berkomunikasi dengan timnya masing-masing. Lalu tanpa ada mengkomandonya, namun masing-masing “kafilah” seolah kompak bergerak memasuki trek pendakian menuju Pos 4. Nampaklah barisan titik-titik-titik lampu senter yang mengular panjang dari bawah hingga ujung bukit, menerobos gelap dini hari.

Bila terang tanah, kita bisa melihat bahwa trek antara Pos 3 ke Pos 4 adalah etape yang berat. Menanjak terus, berliku, campuran tanah dan batu. Medannya terbuka dengan semak di kanan-kiri jalur. Dua jam kami berjuang dengan ngos-ngosan di jalur ini hingga semburat jingga keputihan mewarnai cakrawala. Ufuk berobah warna. Lansekap bumi mulai terbentuk di lensa mata: Pos 4.

Kesimpulan: Trek Pos 3 ke Pos 4 sebaiknya “dihajar” dengan tenaga habis-habisan pada sore hari –untuk kemudian bermalam di Pos 4. Atau, kita bisa mengejarnya dengan pada dini hari seperti yang kami lakukan, mulai mendaki antara pk. 02-03, supaya masuk di Pos 4 sekitar Subuh, istirahat sejenak, lalu etape terakhir ke puncak. Bila hari telah terang, menanjak dari Pos 3 ke Pos 4 akan menyengsarakan dan menekan mental. Apalagi bila pendakian dilakukan pada musim kemarau, akan terasa kering dan melelahkan.

Dan kini kami tiba di Pos 4, ketinggian 2.983 mdpl, menembus tirai langit yang berlapis-lapis warna, lembayung, merah, jingga, hingga memutih. Kini, di hadapan kami tegak Puncak Sejati Gunung Sumbing, 3.371 mdp. Masih harus memanjat 388 meter lagi!

Namun, bagi pendaki yang bermalam di Pos 4, taktiknya sama dengan di Pos 3, meninggalkan barang-barang berat di kemah dan hanya membawa perlengkapan seperlunya seperti minuman dan makanan ringan dan kamera ke puncak.

Dan inilah “partisi” terakhir dari orchestra pendakian puncak Gunung Sumbing sejak dua malam lalu dari Jakarta: Tanah berdebu plus pasir, tanjakan lurus tanpa bonus. Setiap pendaki melintas, bahkan ketika kita beristirahat, debu mengepul –mengundang pikiran jahil ke tukang sate dekat rumah yang bila asapnya mengepul mengundang lapar. Namun kebulan ini, memang mesti ditapis. Makanya semua pendaki pakai masker, atau buff. Dan meski angin berembus mendinginkan cuaca pagi, peluh kami tetap bercucuran, jatuh ke tanah terserap musnah. Rasanya, sengit sekali pendakian hari ini.

Namun sebenarnya banyak hiburan dalam etape terakhir ini. Karena banyak pendaki lain yang “senasib” menggapai puncak. Belum lagi pemandangan indah terbuka yang luar biasa, langit biru, dan kembang-kembang gunung yang khas bertaburan. Apalagi Kuncinya, jangan terlalu banyak melihat ke atas. Fokus pada trek, dan sesekali lihat pemandangan. Juga bercakap sejenak dengan kawan sependakian. Dan setelah berjuang dua jam lebih dari Pos 4, kami sampai di trek agak datar berupa pertigaaan. Namun kedua puncak yang kami tuju mengarah ke barat yakni ambil jalan ke kiri. Ini sudah dataran puncak. Dalam perjalan menuju Puncak Sejati kita akan lewati Puncak Lawang Watu.

“Untuk kita yang sudah berusia 50-an, bisa sampai ke puncak 3.000-an mdpl ini sudah bagus dan kita mesti bersyukur,” ucap Umar Arsal, ketua rombongan gabungan 7FT SAR Unhas dan klub goweser Avengers ini. “Makanya kita jaga Kesehatan supaya bisa mendaki gunung sampai tua,” timpal A Taufik Zaini, anggota tim lainnya.

“Dari puncak ini kita bisa melihat puncak gunung lainnya seperti Gunung Sindoro, Merapi, Merbabu, Lawu, Ungaran, hingga Lawu,” jelas Halid Sahaming mengulangi diskusinya dengan Rizky, tim pemandu kami. Gunung Sumbing sendiri punya beberapa puncak lain seperti Puncak Rajawali, Puncak Kawah, dan Puncak Buntu.

Dari Puncak Sejati, kami bisa juga melihat kawah tidur Gunung Sumbing. Pemandangan yang indah luar biasa. Hanya sayangnya, karena kami melakukan pendakian pada musim pendakian yang ramai, kami jadi kurang leluasa berfoto-foto di puncak, karena dipenuhi berbagai “kafilah” pendaki. Selain itu, kami juga harus mengejar waktu untuk turun sampai di Desa Butuh Kembali paling lambat pukul 14 siang, supaya bisa bisa mengejar bus malam Kembali ke Jakarta. Dan itu bukan persoalan mudah.

Saya teringat dulu naik-turun gunung berlari, rasanya taka da masalah. Tapi sekarang kita tak selentur dulu lagi. Dan salah melangkah atau melompat, kita bisa terkilir atau celaka. Itu akan jadi masalah serius. Jadilah turun gunung ini persoalan tersendiri, apalagi trekking pole yang saya gunakan rusak sehingga mekanisme pengereman perjalanan menurun tidak lagi bisa ditopang oleh peredaman lentur tongkat itu, benar-benar harus “manual” menahan dengan kaki –sesekali bergayut pada batang atau akar pohon bila ada. Lumayan menyakitkan. Sakit yang membuat tersenyum. Dan itulah kisah kami.

Editor: A Gener Wakulu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini