Ojek Setan: Pendakian Gunung Sumbing (2)

Tim pendaki pada tanjakan terakhir antara Pos IV menuju puncak Gunung Sumbing. I Foto: A Gener Wakulu

HARNAS.ID – Sebenarnya, mendaki Gunung Sumbing via Butuh sebagai basecamp tidak disarankan bagi pemula karena treknya yang cukup panjang. Namun jalur ini punya daya tarik lantaran pemandangan alam yang indah. Dari basecamp Butuh, perlu 6-8 jam perjalanan. Rombongan kami yang terlambat start dari Dusun Butuh, sekira pukul 11 menjelang siang, berusaha mengejar ketinggalan langkah kami. Caranya, dari Dusun Butuh sebagai base camp pendakian ke Pos I, kami naik ojek.

Sebagai ilustrasi, Dusun Butuh berada di ketinggian 1.722 mdpl (meter dari permukaan laut), sedangkan Pos I berada di ketinggian 2.127 mdpl. Jadi, kita tempuh elevasi 405 meter dengan waktu yang lebih hemat. Kalau jalan kaki untuk ukuran kami, bisa dua jam. Tapi naik ojek sekitar 20 menit. Lumayan, hemat tenaga. Begitu pikir kami.

Tapi dalam praktiknya tidak sesederhana itu. Karena naik ojek ternyata bisa jadi pengalaman yang ‘horor’ tersendiri. Termasuk bagi rombongan kami yang sok menyundul sebagai adrenaline junkiest.

Usai berdoa di base camp, rombongan ojek yang akan mengantar kami ke Pos I muncul. Sepertinya, para rider itu punya “kode etik” tersendiri. Mereka memilih penumpang, dengan menilik bobot dan menyesuaikannya dengan kondisi motor. Kalau penumpangnya bobotnya besar, bisa jadi motornya semakin besar. Semua motor adalah motor berkopling. Tidak ada motor bebek persneling semi-otomatis. Apalagi skutik. Dan jangan salah… penumpang duduk di depan, rider-nya di belakang!

Karena jalan menanjak, hal itu diperlukan untuk menjaga distribusi bobot. Ransel pendaki alias penumpang digendong oleh rider. Masuk akal, bila penumpang di belakang plus ransel besar mereka pada jalan menanjak, potensi motor terjungkal ke belakang sangat besar.

Kemudian, artinya juga kami, penumpang melihat langsung medan yang akan kami lalui. Saat masih di jalan kecil yang lumayan mulus di dalam dusun, kami rasa masih agak aman. Meski mesin motor tersu menderu kencang, gas terus, tanjakan tanpa bonus, jalan sempit. Motor tidak boleh berhenti, termasuk di tikungan. Padahal, kami mendaki pada Sabtu pagi, weekend, di mana “Nepal van Java” ini sedang kelimpahan wisatawan. Jalanan ramai.

Namun nampaknya baik pengunjung sadar, bahwa faktor keselamatan adalah penting bagi ojek wisatawan yang melintas, semua menepi. Bahkan pada setiap tikungan ada safety officer berseragam yang menyemprit keramaian dan memberi jalan bagi ojek wisatawan. Sudah rapih terkoordinasi.

Persoalannya, Ketika meninggalkan jalan dusun dan masuk ke jalan ladang, kondisi jalan berobah menjadi bebatuan yang tidak semuanya rapih. Sementara motor tetap dikebut, putaran mesin tetap tinggi. Di kanan dan kiri jalan pun bukan medan rata, melainkan ladang berteras. Jadi, salah langkah sedikit, motor selip di parit kecil di samping jalan, umpamanya, maka kemungkinan besar kita terjungkal ke ladang berteras di sampingnya, dan terus berguling masuk jurang. Pokoknya pikiran kita sudah “parno” semua. Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan adalah berdoa dan percaya pada rider –karena mereka berpengalaman dengan pekerjaan sehari-harinya ini, mau bagaimana lagi?

Dan parahnya, setiap motor yang kami tunggangi, mesiinya senantiasa dalam rpm tinggi. Gak ada yang pelan. Semuanya nge-gas habis. Benar-benar “ojek setan”.

“Nanti kalo sudah turun gunung, dari sini kita jalan kaki aja,” ujar Umar Arsal, ketua rombongan kami dengan masih berdebar-debar. Oh ya, rombongan kami adalah campuran dari tim 7FT (alumni) SAR Unhas, klub sepeda Avengers, dan www.harnas.id yang berjumlah delapan orang.

Editor: A Gener Wakulu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini