Harnas.id, Solok – Pembunuhan dan kebrutalan di lingkungan Polri, kembali terjadi. Setelah kasus Ferdi Sambo, kasus anak buah dihabisi oleh komandannya, terjadi di Polres Solok Selatan. Kali ini dengan korban Almarhum AKP Ulil Ryanto Anshari, S.I.K., M.H., seorang perwira lulusan Akpol Angkatan 2012. Pembantaian sadis ini terjadi pada hari Jumat, Tanggal : 22 November 2024, sekira Pukul : 00.15 WIB.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, diketahui bahwa menurut keterangan Dokter Puskesmas, Almarhum AKP Ulil mengalami luka tembak di bagian pelipis Kanan tembus ke belakang kepala, hingga meninggal dunia.
Pelakunya adalah AKP Dadang Iskandar, S.H. (Kabag Ops Polres Solok Selatan), seorang perwira Polri yang juga patut diduga sebagai bagian dari “mafia tambang Galian C” di Solok. Pembunuhan tersebut dilakukan di parkiran dekat ruang Identifikasi kantor Satuan Reskrim Polres Solok Selatan.
Berdasarkan Pasal 340 KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Merujuk Pasal 340 KUHP tersebut, terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh AKP Dadang terhadap korban yaitu Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, Almarhum AKP Ulil maka seyogianya dapat AKP Dadang dapat dihukum mati.
Alasannya, karena jika kemudian kita merujuk Pasal 52 KUHP, bahwa “Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”
AKP Dadang adalah seorang Perwira Polri yang bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakan hukum. Bahkan jika menilik peraturan perundang-undangan tentang Polri, maka sebagai Perwira Polri ia berkewajiban untuk menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manusia.
Perbuatan AKP Dadang yang sadis, tanpa tedeng aling-aling menembak kepala dari Kasat Reskrimnya hingga tewas, adalah salah satu contoh pelanggaran hak hidup manusia yang merupakan salah satu hak dasar manusia dalam Hak Asasi Manusia.
Sebagai aparat penegak hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 340 KUHP jo Pasal 52 KUHP sendiri, maka aturannya telah tertulis tegas, seharusnya AKP Dadang, disangkakan dan diancam hukuman mati.
Kemudian, AKP Dadang, yang patut diduga sebagai “beking” dan/atau turut terlibat dalam jaringan “mafia galian C”, maka sudah sepatutnya juga disangkakan dengan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Seluruh hartanya harus disita, setidaknya sejak ia memulai karir hitamnya sebagai “beking” “mafia galian C”.
Akan tetapi, sangkaan dan ancaman hukuman mati, serta sangkaan Tindak Pidana Korupsi dan penyitaan harta dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, dapat dilakukan sangat tergantung pada profesionalitas dan integritas penyidik dalam proses penyidikan, serta ketercukupan alat bukti.
Mantan Komisioner Kompolnas, Andrea H. Poeloengan, menyoroti ketidakprofesionalan dalam penanganan kasus ini. Ia mengkritik perlakuan istimewa terhadap pelaku yang menyerahkan diri ke Propam Polda Sumbar, terlihat dari sikap santai pelaku yang duduk sambil merokok saat diperiksa.
“Bagi saya yang memperihatinkan, ada pembunuh Polisi yang katanya menyerahkan diri ke Propam Polda, malah seperti diperlakukan Istimewa”, jelas Andrea H Poeloengan mantan Komisioner Kompolnas.
Menurutnya, hal ini tampak ketika seperti tanpa penyesalan pelaku dapat duduk sambil merokok Ketika diduga diperiksa oleh Propam di ruang Subdit Provost Bid. Propam Polda Sumbar.
“Aneh, walaupun pelaku itu Polisi dan menyerahkan diri, seharusnya pelaku segera dibawa untuk diperiksa oleh jajaran Direktorat Kriminal Umum Polda Sumatera Barat. Ada Tindak Pidana Pembunuhan. Ada korban pembunuhan, ada saksi-saksi, ada proyektil, dan belum lagi pelaku juga menembak beberapa kali ke rumah Kapolresnya”, tegas Andrea dalam keterangan resminya yang diterima media ini, yang saat ini bertugas sebagai Tenaga Profesional bidang Hukum dan HAM di Lemhannas RI.
Masih menurut Andrea, bahkan seharusnya Jum’at siang ini (22/11/2024), Polda Sumatera Barat sudah bisa mengekspose kasus dan memasang baju tahanan pada pelaku, karena terhadap kasus pembunuhan sudah cukup alat buktinya.
Ketidakprofesionalan dari penanganan pembunuhan ini, membuat keraguan bagi Andrea, “Saya khawatir jika sangkaan dan ancaman hukumannya bukan hukuman mati. Saya khawatir ujung-ujungnya nanti hakim tidak menghukum mati. Kita sudah punya pengalaman pada kasus FS cs, tidak ada satupun yang dihukum mati”, ujar Andrea.
Selanjutnya, Andrea juga mengkhawatirkan jika perkara Tindak Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang, juga tidak akan terungkap dengan baik. “Yang pembunuhan itu yang Tindak Pidana Umum saja belum baik penanganannya, apalagi yang Tindak Pidana Khusus? Saya berharap Kapolri menurunkan tim asistensi untuk Dit Krimum dan Dit Krimsus Polda Sumbar,” pungkas Andrea.
Editor : Edwin S