HARNAS.ID – Bekas Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Richard Joost Lino alias RJ Lino didakwa melakukan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) pada PT Pelindo II tahun 2011. Akibat tindaknya, negara mengalami kerugian sebesar US$ 1,99 juta.
“Yang mengakibatkan kerugian keuangan negara cq PT Pelindo II (persero) sebesar USD1.997.740,23,” kata jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Senin, (9/8/2021).
RJ Lino diduga mengintervensi proses pengadaan Quayside Container Crane (QCC) dengan menunjuk Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co. Ltd. (HDHM) sebagai perusahaan pelaksana proyek.
Tindak pidana korupsi itupun dilakukan bersama dengan Ferialdy Norlan selaku Diektur Operasi dan Teknik PT Pelindo II dan Chariman HDHM, Weng Yaogen.
Padahal, tindakannya itu bertentangan dengan Pasal 2 Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN; Pasal 1, Pasal 3 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) SK Direksi Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 Tanggal 9 September 2009 tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelindo I.
“Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,” kata jaksa.
Dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan RJ Lino bermula saat PT Pelindo II mengadakan lelang pengadaan crane untuk Pelabuhan Panjan, Pontianak dan Palembang. Namun, tak kunjung mendapatkan pemenang.
Kemudian, PT Pelindo II membuka lagi proses pelelangan pada April 2009 dengan merubah sperifikasi crane single lift QCC berkapasitas 40 ton. Meski demikian, tak ada satupun peserta lelang.
Hingga akhirnya, PT Pelindo II menujuk langsung langsung PT Barata Indonesia sebagai pemenang lelang. Sehingga terjadi negosiasi antara PT Pelindo II dengan PT Barata Indonesia.
Tapi, saat proses negosiasi berlangsung RJ Lino justru mengundang PT HDHM untuk melakukan survei langsung ke beberapa pelabuhan tersebut.
“Perbuatan terdakwa tersebut bertentangan dengan prinsip adil dan wajar sebagaimana Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 dan SK Direksi PT Pelindo II Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 Tanggal 9 September 2009 yaitu prinsip adil dan wajar,” kata jaksa.
“Hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) SK Direksi PT Pelindo II Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 Tanggal 9 September 2009,” sambung jaksa.
Bahkan untuk memuluskan rencananya, RJ Lino menyuruh bawahannya, Wahyu Hardiyanto, mengubah SK Direksi Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 Tanggal 9 September 2009 tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan PT Pelindo II.
Hingga akhirnya, PT HDHM terpilih sebagai pihak pengadaan. Sehingga, dalam pengadaan itu PT Pelindo II harus membayar US$ 15.165.150 (15,1) juta.
“Harga wajar sebenarnya US$ 13.579.088,71. Sehingga menyebabkan terjadinya kemahalan harga pembelian 3 (tiga) unit Twinlift QCC dari HDHM sebesar US$ 1.974.911,29,” kata jaksa.
Dalam kasus ini, RJ Lino didakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Editor: Ridwan Maulana