HARNAS.ID – Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mengendus adanya peran ‘King Maker’ di balik kasus eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dugaan itu muncul lantaran Kejaksaan Agung tidak mengajukan kasasi atas vonis ringan perkara Pinangki.
Menurut Koordinator MAKI Boyamin Saiman, sosok tersebut merasa ketakutan jika eks Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan itu dihukum 10 tahun penjara.
“Jika Kejaksaan Agung mengajukan kasasi, dikhawatirkan Pinangki akan jengkel dan buka-bukaan. Sosok King Maker ini berusaha menghentikan langkah kejaksaan hingga tidak kasasi. Tujuannya, agar Pinangki tutup mulut atas semua rahasia yang dipegangnya selama ini,” ujar Boyamin, Jumat (16/7/2021).
Boyamin pun blak-blakan mengatakan jika sosok ‘King Maker’ tersebut berasal dari oknum penegak hukum ataupun politikus. “Siapa orang itu? Bisa saja oknum penegak hukum, maupun politikus. Detailnya sudah saya serahkan kepada KPK. Tunggu saja nanti perkembangannya,” katanya.
Jika kasus tersebut sudah inkrah, MAKI akan mengajukan gugatan praperadilan untuk melawan KPK. Itu dilakukan untuk menelusuri dan melacak keberadaan dan peran dari ‘King Maker’ itu.
“King Maker ini kalau bisa dilacak KPK, guna membuat terang benderang, siapa yang sebenarnya sosok yang punya proyek fatwa maupun peninjauan kembali terkait niatnya untuk bebaskan Djoko Tjandra,” kata dia.
Boyamin berharap ada perguruan tinggi, yang bisa melakukan eksaminasi terhadap kasus yang menjerat Pinangki. Karena, tutur dia, tidak mungkin jika Kejaksaan Agung secara internal melakukan eksaminasi.
“Berkaitan dengan langkah Kejaksaan Agung, memperlihatkan bahwa pimpinan Kejaksaan Agung memang tidak ingin kasasi. Jadi, tidak bisa dieksaminasi internal. Yang bisa melakukannya hanya eksternal. Misalnya dari kampus atau perguruan tinggi. Kami berharap,” ujar Boyamin.
Sikap pasif Jaksa Agung Burhanuddin terkait vonis ringan Pinangki pun telah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Langkah itu diambil lantaran dirinya heran dengan sikap Jaksa Agung yang seolah bungkam.
“Tapi setidaknya saya sudah pernah melaporkan Jaksa Agung kepada presiden untuk memerintahkan kasasi dan itu dipublikasikan oleh media. Tapi nampaknya hal itu juga tidak digubris oleh Jaksa Agung dan hingga saat ini nyata-nyata tetap tidak kasasi,” ujarnya.
Menurut dia, boleh saja kejaksaan tak melakukan kasasi karena dirasakan putusan Pengadilan Tinggi sudah sesuai tuntutan JPU. Namun, publik ternyata mendorong dilakukannya kasasi agar penegakan hukum di Indonesia jelas dan berkeadilan.
“Jadi Jaksa Agung harus menjelaskan mengapa tidak dapat memenuhi desakan masyarakat untuk kasasi, bukan diam saja tanpa alasan seperti angin lalu gitu,” kata Boyamin.
Bahkan masyarakat menggalang petisi agar dilakukan kasasi terhadap vonis ringan eks jaksa Pinangki. Alasannya sangat kuat, karena masyarakat mendorong serta mendesak sampai membuat petisi segala macam. “Ini harusnya didengar oleh Jaksa Agung dan mengajukan kasasi tapi nyatanya tidak,” ujarnya.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar berpendapat ada satu alasan mengapa JPU tak mengajukan kasasi Pinangki, yaitu karena sesama jaksa. “Mengenai keengganan JPU mengajukan kasasi bisa jadi didasarkan pada perasaan satu korps atau esprit de corps, tetapi juga sangat mungkin karena putusan dianggap sudah sesuai tuntutannya,” ujarnya.
Fickar menyebut bahwa kasus Pinangki menjadi bukti, pengawasan melekat (waskat) dan reformasi birokrasi yang ada di Kejaksaan Agung telah gagal dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Waskat itu hampir tidak pernah efektif, tidak mungkin jeruk makan jeruk,” katanya.
Dalam konteks ini, yang perlu dirangsang dan ditumbuhkan dalam kondisi kejaksaan ini adalah keberanian masyarakat untuk melaporkan jika menjadi korban atau melihat pemerasan yang dilakukan oleh oknum aparat kejaksaan.
Kejaksaan Agung dinilai kurang serius dalam melakukan pengawasan secara internal, terutama pada jaksa-jaksa yang menangani perkara berpotensi terjadi transaksi. Itu baik mengenai pasal pasal dakwaan/tuntutan maupun mengenai upaya paksa yang dilakukan jaksa.
“Seperti penahanan dan penyitaan barang yang diduga hasil kejahatan, saat ini berpotensi transaksional,” kata Fickar.
Dia berharap peran kontrol masyarakat, utamanya pers menjadi sangat penting. Sehingga dibutuhkan juga keberanian media-media nasional untuk menampilkan berita penyelewengan-penyelewengan yang terjadi pada aparat penegak hukum.
Namun, saat ini masyarakat pun sudah bersikap apatis dan masih sibuk dengan kebutuhannya masing-masing. “Sepanjang tidak ada kasus yang menimpanya, kejaksaan menjadi tidak relevan dalam kehidupan sehari-harinya,” katanya.
Editor: Ridwan Maulana