Pembangunan Infrastruktur di Balik Konflik Agraria yang Meningkat, Ini Solusinya

Gambar Ilustrasi Pembangunan Infrastruktur. Foto: Chaerudin/Harnas.id

Harnas.id, Jakarta – Pemerintah Indonesia terus mendorong pembangunan infrastruktur besar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik ambisi tersebut, muncul bayang-bayang konflik agraria yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Hal ini disampaikan oleh Peneliti PCRC, Emir Chairullah, dalam Diskusi Panel INDEF dengan tema “Konflik Sumber Daya Alam (SDA), Tanah, dan Hambatan Investasi” pada Rabu (11/12/2024).

Emir menjelaskan bahwa sejak era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia telah mengalami 2.710 konflik agraria yang melibatkan lahan seluas 5,88 juta hektare, dengan 78 persen di antaranya terjadi di lahan perkebunan. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang hanya tercatat sekitar 1.500 konflik lahan.

Emir menyoroti bahwa dampak dari konflik agraria ini seringkali tidak diperhitungkan dalam perencanaan investasi baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Konflik tersebut, menurutnya, tidak hanya merugikan masyarakat lokal, tetapi juga dapat menghambat kelancaran dan keberlanjutan proyek-proyek pembangunan yang tengah berjalan.

“Sayangnya, dampak konflik agraria terhadap investasi sering kali tidak teridentifikasi dengan baik. Padahal, ini bisa berdampak besar pada kelancaran pembangunan,” ujar Emir.

Akar dari konflik agraria ini, menurut Emir, terletak pada kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur besar, tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan secara mendalam. Hal ini semakin parah dengan adanya proyek strategis nasional yang seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal yang terdampak.

“Sering kali, kebijakan pemerintah lebih fokus pada pembangunan fisik, tanpa memikirkan dampaknya terhadap sosial dan lingkungan. Proyek-proyek strategis nasional kerap mengabaikan hak-hak masyarakat yang berada di wilayah tersebut,” ungkapnya.

Untuk mengurangi potensi konflik agraria, Emir mengusulkan agar pemerintah dan perusahaan swasta mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Salah satu kunci penting dalam mengatasi konflik agraria adalah dengan melibatkan semua pihak dalam dialog yang terbuka dan transparan.

“Dialog yang melibatkan semua pihak, baik masyarakat lokal, pemerintah, maupun perusahaan, harus dilakukan. Selain itu, penerapan teknologi ramah lingkungan dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang efektif bisa membantu membangun hubungan yang lebih harmonis dengan masyarakat lokal,” tambahnya.

Penerapan solusi berbasis keberlanjutan dan inklusivitas ini diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif sekaligus meminimalkan konflik agraria yang merugikan berbagai pihak.