Peneliti Formappi Lucius Karus | IST

HARNAS.ID – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpendapat, hukuman mati koruptor yang diwacanakan Jaksa Agung ST Burhanuddin sulit terealisasi. Bahkan, dia mempertanyakan apakah Jaksa Agung berani melawan oligarki yang penuh korupsi, dengan menentukan jadi tidaknya hukuman mati koruptor. 

Apalagi, ujar Karus, masih banyak kasus korupsi yang ‘mangkrak’ di tangan Kejaksaan Agung (Kejagung). Kondisi ini didukung fungsi pengawasan yang dilakukan Komisi III DPR RI terhadap Kejaksaan Agung hanyalah formalitas belaka. “Jadi, wacana hukuman mati koruptor tak mungkin terealisasi,” kata Karus di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Karus, dengan iklim korupsi yang sistematik di Indonesia, membuat gagasan hukuman mati tak akan mudah didukung oleh elite parpol maupun DPR. Terlebih, korupsi selalu dekat dengan elite, sehingga tidak mungkin mereka merancang hukuman berat bagi dirinya sendiri. 

“Saya kira seperti itulah kinerja Komisi III DPR, lebih banyak formalitas terhadap kinerja kejaksaan. Mungkin Komisi III juga punya alasan, karena kalau membicarakan kasus mangkrak, jangan-jangan mereka juga justru dianggap mengintervensi,” ujarnya. 

Semestinya DPR bisa mengawasi dari sisi manajemen kejaksaan, ketika membiarkan sebuah kasus tanpa kejelasan. Itu mestinya tugas DPR untuk mempertanyakan ke kejaksaan. “Memang tidak banyak yang bisa diharapkan dari Komisi III untuk mendorong Kejagung, memproses kasus-kasus yang mangkrak itu,” katanya.

Lucius pun menilai kinerja Kejaksaan Agung tidak maksimal, meskipun dalam kasus tertentu mendapatkan apresiasi karena inisiatifnya untuk menangani korupsi. “Tapi itu kemudian tidak bisa menutupi banyaknya kinerja kejaksaan lain yang sampai sekarang itu tidak tuntas,” tutur Lucius.

Hal itu, seharusnya menjadi acuan bagi DPR untuk lebih tegas lagi dalam mengawasi kinerja Kejaksaan Agung. Namun, parlemen yang diisi berbagai kalangan, tentu tidak bebas dari kepentingan, sehingga tidak bisa tegas terhadap kinerja Korps Adhyaksa. 

“Komisi III tidak bebas kepentingan sama sekali terhadap kejaksaan karena kebanyakan dari mereka pengacara dan lain sebagainya. Jadi kemungkinan konflik kepentingan itu yang membuat fungsi pengawasan Komisi III terhadap kejaksaan juga tidak terlalu bisa tegas seperti yang diharapkan,” lanjutnya.

Belakangan, kejaksaan lebih menyoroti kasus Jiwasraya dan Asabri. Menurut dia, hal itu yang seharusnya dilakukan DPR untuk menegur kejaksaan agar jangan hanya berkutat dengan satu dua kasus saja yang ditangani dan membiarkan perkara lainnya mangkrak. Apalagi, kasus tersebut ditengarai membuat kegaduhan terkait penyitaan asetnya.

“Di situlah mestinya peran pengawasan itu bisa mendorong Kejaksaan Agung untuk bersikap adil terhadap kasus-kasus yang sudah ditangani. Saya pikir ketika dia hanya fokus pada satu kasus dan kemudian membiarkan perkara yang lain mangkrak, mungkin bisa dinilai atau menduga Kejaksaan Agung tebang pilih,.”

Menurut Mantan Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen, tidak mudah bagi seorang jaksa menuntut orang dihukum mati karena syarat dari hukuman maksimum itu tidak ada sedikitpun perbuatan yang meringankan. “Jadi benar-benar tidak ada sedikitpun alasan jaksa untuk mengatakan ada perbuatan yang meringankan,” kata Halius. 

Itu, ujar Halius melanjutkan, adalah petunjuk hukum yang harus dijadikan pedoman bagi jaksa agar benar-benar tidak sembarangan menuntut koruptor dihukum mati. Dia pun mempertanyakan letak efektifnya hukuman mati itu, apa pada hukumannya saja, atau pada proses penuntutannya, atau eksekusinya? 

“Jaksa Agung harus punya kajian yang sangat mendalam dan matang serta berkaca pada banyak negara lainnya,” ujarnya. 

Banyaknya kasus ‘mangkrak’ yang berada di tangan Kejaksaan Agung, merupakan pekerjaan rumah dan hutang yang harus menjadi prioritas untuk diselesaikan. Menurut Halius, nasib seseorang tidak boleh digantung-gantung. Dalam konteks ini harus jelas jika statusnya tersangka, dihadapkan meja hijau di pengadilan, langsung putuskan. 

“Kalau sudah bertahun-tahun dia tidak jelas itu namanya tidak benar. Artinya tidak bertanggungjawab sebagai jaksa penuntut umum,” tutur Halius.

Jaksa Agung seharusnya membuat skala prioritas kasus-kasus mana yang harus diselesaikan segera. Bahkan, kata dia, kejaksaan memiliki cukup personel jaksa untuk dibagi menangani kasus tersebut. Ini, kata dia, adalah utang dari Kejaksaan Agung yang harus diselesaikan.

“Tidak bisa nasib orang digantung dengan tidak jelas. Apalagi kalau orangnya sudah meninggal dunia, itu sudah harus ditutup oleh Kejaksaan Agung, tidak boleh (dilanjutkan atau dibiarkan begitu saja),” katanya. 

Terkait isu dugaan poligami Jaksa Agung Burhanuddin yang beberapa waktu belakangan ini sempat gaduh, Halius pun ikut angkat bicara. “Kalau soal poligami ini mengacu pada UU Perkawinan. Apakah pernikahan Jaksa Agung dengan istri kedua yang katanya jaksa ini sesuai prosedur atau tidak, sampai saat ini memang kurang jelas,” ujarnya. 

Sesuai prosedur terdapat beberapa ketentuan yang harus dilakukan, salah satunya adalah mendapatkan izin dari istri pertama. Misalnya ada izin dari istri yang tua, kemudian didaftarkan secara sah di kejaksaan sebagai pasangannya. “Bagaimana statusnya istri kedua ini, apakah melanggar atau tidak, tentunya memiliki risiko berat bagi istri kedua bila benar dia seorang ASN juga,” katanya.

Jika tidak sesuai prosedur maka akan berpengaruh terhadap posisi Jaksa Agung di mata masyarakat. Terkait persoalan ini, Jaksa Agung juga harus arif dan para JAM pun harus turut mengingatkan, apakah pernikahannya sudah sesuai prosedur atau tidak.

“Memang boleh saja menikah kedua kali, tidak dilarang kok. Namun, tetap ada ketentuan dan etika yang harus ditaati dan dihormati. Apalagi posisi beliau sebagai ‘wajah’ institusi kejaksaan,” ujarnya.

Editor: Ridwan Maulana