Harnas.id, Jakarta – Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI) mendesak pemerintah untuk segera membentuk Komando Siber Nasional di bawah kendali TNI, menyusul revisi Undang-Undang TNI yang justru menempatkan peran TNI hanya sebagai pendukung dalam pertahanan siber.
Direktur Eksekutif IDCI, Yayang Ruzaldy, menegaskan bahwa ancaman siber telah menjadi bagian dari peperangan modern yang tidak bisa hanya ditangani oleh lembaga sipil seperti BSSN atau Kemenkominfo.
“Sabotase digital, pencurian data intelijen, hingga serangan terhadap infrastruktur kritis adalah ancaman yang membutuhkan respons militer secara strategis dan real-time,” ujar Yayang, Senin (24/3/2025).
Menurut Yayang, banyak negara telah menempatkan militer sebagai pusat kendali pertahanan siber, seperti:
• Amerika Serikat dengan US Cyber Command,
• Israel dengan Unit 8200,
• NATO dengan doktrin pertahanan sibernya.
Di Indonesia, ketidakjelasan komando dalam menangani insiden siber justru memperlemah pertahanan negara. Saat ini, Perpres No. 28 Tahun 2021 menugaskan BSSN untuk kebijakan teknis, sementara Perpres No. 174 Tahun 2024 memberikan kewenangan kepada Kemenkominfo dalam pengelolaan ruang digital.
“Namun, kedua lembaga ini tidak memiliki otoritas militer yang diperlukan untuk menangani serangan siber strategis,” tegas Yayang.
IDCI menegaskan bahwa ruang siber adalah domain perang kelima (fifth domain of warfare), setara dengan darat, laut, udara, dan antariksa. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera membentuk Komando Siber Nasional di bawah TNI, yang memiliki otoritas strategis, operasional, dan taktis.
IDCI mengusulkan tiga langkah strategis bagi pemerintah:
• Memasukkan pertahanan siber sebagai tugas utama TNI dalam UU TNI,
• Membentuk Komando Siber Nasional sebagai unit khusus di bawah TNI,
• Mengadopsi doktrin Active Cyber Defense dalam sistem pertahanan negara.
“Tanpa langkah konkret ini, Indonesia akan terus tertinggal dalam keamanan siber dan berisiko menghadapi krisis kepercayaan institusional,” tutup Yayang.
Chaerudin/ibenk