Gedung Mahkamah Agung | ANTARA FILES

HARNAS.ID – Pemidanaan harus berdasarkan putusan hakim, tidak boleh ada hukuman tambahan. Artinya, apabila ada penghapusan hak narapidana, hal itu sebaiknya menjadi bagian dari putusan hakim. 

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu, Senin (1/11/2021), menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA). 

Pembatalan Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme dan lainnya telah resmi dilakukan.

Edwin berpendapat, konsep sistem pemidanaan untuk menyiapkan terpidana kembali ke masyarakat. Selain terpidana koruptor, juga ada terpidana terorisme dan narkoba. 

“Penghuni terbesar lapas adalah terpidana narkorba. Terpidana narkoba sebagian merupakan pemakai. Kalau disyaratkan sebagai justice collaborator (JC) maka hal itu akan memberatkan mereka karena narkoba jaringan tertutup dan melibatkan mafia, termasuk oknum. Penjara kita mengalami overcrowded,” ungkap Edwin.

Edwin menambahkan, khusus bagi JC, Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur mengenai penanganan khusus dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.

“Pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lain merupakan bentuk penghargaan bagi JC atas kesaksian yang mereka berikan,” jelas Edwin.

Namun, dalam praktiknya, lanjut Edwin, PP No. 99 Tahun 2012 menghambat implementasi pemenuhan hak narapidana seperti diatur dalam Pasal 10A UU Perlindungan Saksi dan Korban.

“Pada praktiknya, diketahui terjadi penyimpangan atau kolusi antara terpidana dengan oknum aparat untuk mendapatkan status JC agar narapidana bisa mendapatkan haknya. Anehnya lagi, bila pelaku tunggal, juga bisa diterbitkan status JC,” tukas Edwin seraya menambahkan, berdasarkan pengalaman LPSK, sebagian kepala lapas lebih merujuk PP ini dibandingkan Pasal 10A yang juga mengatur hak-hak narapidana bagi JC.

Menurut Edwin, saat ini Kementerian Hukum dan HAM juga tengah menyusun peraturan turunan dari Pasal 10A Undang-Undang No. 31 Tahun 2014. Dengan demikian, pencabutan PP No. 99 Tahun 2012 sejalan dengan penyusuan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun Kemenkumham.

Edwin meminta pemerintah tidak perlu ragu untuk melaksanakan putusan MA tersebut. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya terhadap judicial review terhadap Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diajukan terpidana kasus korupsi OC Kaligis pada September lalu, berpendapat senada.

MK menegaskan semua terpidana yang sedang menjalani masa pemidanaan di lapas, berhak mendapatkan remisi sebagaimana dijamin UU Pemasyarakatan. Namun, karena tidak berwenang mengadili PP, MK tidak mencabut PP No. 99 Tahun 2012.

Sebelumnya, Majelis Hakim MA diketuai Supandi dengan Hakim Anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono, mengabulkan uji materiil yang dimohonkan mantan kepala desa Subowo dan empat orang lainnya yang menjadi warga binaan di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung. Dalam uji materiilnya, pemohon menilai ada sejumlah pasal, yakni Pasal 34 A ayat 1 huruf a dan b, Pasal 34A ayat 3, dan Pasal 43 A ayat 1 huruf a, Pasal 43A ayat 3 yang bertentangan dengan undang-undang berlaku.

Dalam putusannya, majelis hakim menimbang kalau fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar memenjarakan pelaku agar jera. Akan tetapi, usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice. Berkaitan dengan hal tersebut, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali, yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali hal itu dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini