HARNAS.ID – Nama Jaksa Agung ST Burhanuddin kembali memunculkan kontroversial. Usai kasus jaksa Pinangki, kini mantan Jamdatun itu dihadapkan dengan isu latar belakang pendidikan.
Hal ini menyusul beredarnya perbedaan informasi profil pendidikan Burhanuddin dalam buku pidato pengukuhan profesornya dan daftar riwayat hidupnya yang dipublikasikan situs resmi Kejaksaan Agung.
Mengutip buku pengukuhannya sebagai profesor di Universitas Jenderal Soedirman, disebutkan Burhanuddin merupakan lulusan sarjana hukum dari Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, Jawa Tengah 1983.
Namun, dalam situs resmi Kejaksaan Agung, Burhanuddin disebut lulusan sarjana hukum Universitas Diponegoro tahun 1980. Sementara untuk pendidikan pascasarjananya, dalam situs resmi Kejaksaan Agung menyebut, jaksa agung lulusan magister manajemen dari Universitas Indonesia (UI) 2001.
Sedangkan di buku pengukuhan profesornya, Burhanuddin disebut lulus dari Sekolah Tinggi Manajemen Labora di DKI Jakarta 2001.
Kemudian untuk pendidikan doktornya, dalam situs resmi Kejaksaan Agung, Burhanuddin mendapatkan gelar doktor di UI 2006. Namun, dalam buku pengukuhan, dia lulusan Universitas Satyagama Jakarta 2006.
Saat ditelusuri dengan kata kunci ST Burhanuddin yang muncul di pangkalan data Dikti adalah seorang dosen di Universitas Satyagama Jakarta. Sedangkan dengan kata kunci Sanitiar Burhanuddin tidak ditemukan.
Sementara itu, pihak UI menelusuri data atas nama ST Burhanuddin sebagai lulusan magister manajemen UI 2001. Hasilnya, tidak ditemukan nama tersebut dalam database mereka. Yang muncul Muhammad Ikhsan Burhanuddin lulusan magister manajemen angkatan 2018.
“Berikut datanya, dengan kata kunci Burhanuddin dan lulusan program studi magister manajemen. Hanya ada data atas nama Ikhsan Burhanuddin yang telah lulus pada 2018,” kata Humas Universitas Indonesia (UI) Mariana.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun turut menanggapi polemik ijazah milik ST Burhanuddin. Dia mempertanyakan, informasi yang disebar oleh Kejaksaan Agung maupun dalam buku tersebut asli atau tidak.
“Itu saja letak persoalannya,” ujar Refly, Kamis (23/9/2021).
Menurut dia, jika ijazah Strata Satu (S1) tidak asli, seluruh gelar harus dicopot. Refly pun mendesak presiden harus memberhentikan ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung, karena telah melakukan pembohongan publik.
“Tapi ini kalau (tidak asli). Sekali lagi kalau (tidak asli), karena itu harus diverifikasi secara sungguh-sungguh kebenaran data yang bersangkutan,” ujarnya.
Klarifikasi dari Burhanuddin, dinilai Refly tidak cukup, melainkan harus ada investigasi secara independen, termasuk pernyataan dari institusi atau lembaga yang dituliskannya. Intinya harus dicari kebenaran materialnya.
Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan bahwa secara administrasi kepegawaian seharusnya ada verifikasi terkait latar belakang lulusan dan data-data resmi valid yang diakui sesuai Undang-undang untuk menjadi pejabat negara.
Menurut dia, bagian kepegawaian harus melakukan verifikasi kebenaran data. “Karena kalau individu tidak berkualifikasi mempergunakan informasi palsu, maka ini sudah merupakan tindakan kriminal,” ujar Doni.
Dia menyebut hal itu menjadi tidak adil bagi orang lain dengan kualifikasi sama tapi tidak terseleksi. “Data di kepegawaian harus lengkap. MenPANRB, dan BKN harus menegur dan meminta klarifikasi untuk verifikasi tentang validitas data,” katanya.
Permasalahan data, ujar Doni, harus dilihat berat tidaknya kasus. Apakah sekedar masalah administratif atau maladministrasi, pelanggaran terhadap integritas data. “Karena dua kasus ini dampak-dampaknya berbeda,” katanya.
Namun, dia menyebut bahwa kualitas lulusan tidak terkait dengan asal almamaternya, karena kualitas sifatnya individual. “Tapi kalau data individu sebagai alumni dipertanyakan, artinya hasil belajar dan kompetensinya juga dipertanyakan,” tuturnya.
Jika terbukti adanya pemalsuan data, ST Burhanuddin tidak sah menjabat sebagai Jaksa Agung. “Kalau terbukti terjadi pemalsuan data, jabatan sekarang harus dinyatakan tidak sah dan dibatalkan karena tidak memenuhi persyaratan,” ujarnya.
Sementara itu, pihak Universitas Diponegoro ketika dikonfirmasi mengenai data ST Burhanuddin menyarankan untuk mengakses data pusat. “Soalnya data itu biasanya di pusat. Saya hanya di fakultas,” kata Humas Undip Nuswantoro.
Editor: Ridwan Maulana