Gedung Kejaksaan Agung | IST

HARNAS.ID – Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penyitaan dan perampasan aset yang berkaitan dengan kasus korupsi Jiwasraya-Asabri dinilai melanggar KUHAP dan UU Tipikor. Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa menyebut, penyitaan dan perampasan di dalam KUHAP adalah istilah yang berbeda.

Kejaksaan, selaku penegak hukum seharusnya tidak sembarangan melakukan kedua upaya tersebut dalam rangka pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi. Hal itu menyusul polemik abuse of power penegak hukum dalam perampasan aset Jiwasraya-Asabri yang diduga serampangan. 

“Dalam KUHAP, itu istilah yang berbeda. Tindakannya juga tidak sama antara penyitaan dan perampasan,” kata Eva, Selasa (3/8/2021).

Pada webinar “Perilaku Abuse of Power Berkedok Penegakan Hukum”, Sabtu (31/7/2021), Eva juga menyampaikan bahwa barang yang disita adalah yang berkaitan dengan tindak pidana, hasil dari tindak pidana, barang yang dipakai untuk satu tindak pidana, atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana. 

“Di luar itu barang-barang yang tidak berhubungan langsung atau tidak dipakai untuk satu tindak pidana, yang bukan hasil dari tindak pidana, tidak boleh disita. Kami membacanya ini kontra riil karena memang tujuannya  terbatas untuk mencari barang bukti dari suatu tindak pidana,” ujarnya.

Penyidik harusnya melakukan verifikasi atau klasifikasi secara detil terhadap suatu barang sehingga dapat diketahui dengan pasti terkait atau tidak dalam suatu tindak pidana. Dalam kasus ini (Jiwasraya-Asabri) tindakan klasifikasi atau verifikasi aset tidak bekerja.

“Padahal penyidikan itu seharusnya bukan sekadar investigasi membuktikan unsur, tapi juga proteksi oleh mereka sebagai alat negara yang menjaga hak-hak masyarakat yang menjadi korban dari sistem. Oleh karena itu penyidik wajib meng-coding alias memilah barang atau aset-aset yang disita,” ujar Eva.

Artinya, jika diketahui ada barang milik pihak ketiga yang kemudian tersita, maka seharusnya dikembalikan segera ke pemiliknya. Ini kaitannya dengan the rights of property dalam HAM yaitu hak memiliki sesuatu dan menggunakannya, termasuk pula hak untuk membeli maupun menjual sesuatu.

Eva pun mengkritisi penggunaan Pasal 45 KUHAP yang menjadi dasar Kejaksaan Agung melelang sejumlah aset yang diduga terkait perkara Asabri. Menurut dia, pelelangan bisa dilakukan sekali atas izin hakim. Namun juga harus izin terdakwa ataupun kuasanya. 

“Perlu diingat KUHAP membatasi bahwa yang dapat dirampas terbatas pada barang yang dapat dibuktikan berasal atau terkait erat dengan kejahatan (korupsi),” ujarnya.

Kuasa Hukum Nasabah WanaArtha Palmer Situmorang menilai, penyidikan kasus Jiwasraya oleh kejaksaan terselip sebuah agenda, baik yang disadari atau yang tidak disadari oleh penyidik seperti ada euforia ingin mengejar target di publik. 

“Bahkan dengan pongahnya mereka menyebut tidak perlu dicari untuk biaya atau menutup biaya negara atas kerugian yang dikumpulkan,” kata Palmer.

Dia juga menilai, penegakan hukum kejaksaan itu tidak lagi bisa memilah mana kekayaan tersangka atau terdakwa dan mana yang bukan. Yang pertama dilanggar oleh penyidik adalah penyitaan aset para kliennya itu dengan melibatkan atau melelui sepengetahuan dari pemilik rekening.

“Bahkan sampai sekarang, putusan pengadilan sama sekali tidak melibatkan pemilik rekening. Padahal itu wajib. Kejaksaan hanya minta persetujuan oleh OJK. Cara seperti ini jelas melanggar KUHP dan tidak patut dilakukan. Ini membuktikan, jaksa telah mendegradasi pikiran obyektifnya,” ujarnya.

Pasal 19 Undang-Undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999 jelas dan gamblang menyebut barang bukti yang bukan milik tersangka tidak dikenakan perampasan. Namun, jaksa memaksa untuk dirampas. Hal itu sudah jelas ada pelanggaran lagi.

“Di kejaksaan terjadi pelanggaran, begitu pun di pengadilan. Karena ini perkara pidana, kebenaran harus tetap menjadi materil, tidak boleh disabotase,” ujarnya. 

Dia menilai, ini agak janggal dan sangat tidak mendidik karena ada banyak fakta yang disembunyikan, bahkan telah merusak sistem peradilan. Sepanjang ada gugatan perdata dan keberatan dari pihak ketiga itu terdapat dalam salah satu Surat Edaran Jaksa Agung di 1985. 

“Bahkan sudah diperbaharui lagi di tahun-tahun berikutnya. Jadi Jaksa tidak boleh melakukan eksekusi ini sepanjang masih ada gugatan,” tutur Palmer.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini