Gedung Asabri | IST

HARNAS.ID – Persidangan kasus dugaan korupsi PT Asabri, Senin (13/9/2021) diwarnai kericuhan dan memicu kemarahan majelis hakim. Hal itu lantaran para terdakwa menolak disidangkan secara bersamaan.

Mereka beralasan karena tempus perkara dan peran para terdakwa yang berbeda, sehingga dianggap tidak efektif dan akan mengaburkan peran masing-masing.  

Menurut Kuasa Hukum Benny Tjokrosaputro, Fajar Gora, Kamis (16/9/2021), sudah menjadi hak para terdakwa jika tidak ingin disidangkan secara bersamaan. 

“Nomor perkara dari delapan terdakwa berbeda. Artinya, perbuatan yang didakwakan kepada masing-masing terdakwa juga berbeda,” kata Fajar. 

Fajar pun menilai aneh, jika perkara tersebut diperiksa secara bersamaan. Terlebih, majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini cuma satu.

Belum lagi, jika perkara tersebut digabungkan, akan memakan waktu sangat lama dan bisa berpengaruh terhadap putusan hakim. 

“Mungkin saja karena terlalu lelah, bisa saja berpengaruh tidak saja pada majelis hakim, tapi juga saksi dan penasehat hukum para terdakwa,” katanya. 

Dia membandingkan dengan kasus manajer investasi Jiwasraya yang disidangkan secara terpisah. Dalam kasus itu ada 13 terdakwa.

“Namun banyak majelis hakim yang menyidangkan, sehingga sidang dapat dilakukan secara terpisah dan efektif,” katanya.

Kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk berpendapat serupa. Menurut dia, keberatan yang disampaikan oleh para kuasa hukum bukan untuk membuat kericuhan, tetapi bagian dari usaha membela hak-hak para terdakwa.

“Alasan kami menolak sidang bersamaan sangat jelas. Pertama sebagaimana diketahui berkas perkara delapan terdakwa dilimpahkan ke pengadilan secara terpisah. Artinya, ada delapan nomor perkara,” ujar Kresna.

Dengan adanya perbedaan nomor perkara, tentunya sidang harus dilakukan secara terpisah sebagaimana nomor perkara masing-masing terdakwa. 

“Kalau dari materi, tentunya jelas bahwa uraian kepada setiap terdakwa baik tempus ataupun perbuatannya berbeda dan tidak saling berkaitan, sehingga tidak mungkin disidangkan bersamaan,” tuturnya.

Terkait alasan teknis, menurut dia sangat menyulitkan para penasihat hukum dalam melakukan pembelaan. Sebab, jika digabung, jumlah penasehat hukum yang dibolehkan bersidang hanya dua orang. 

“Dengan demikian, kami tidak mungkin melakukan pembelaan secara maksimal, mengingat berkas perkara ini sangat banyak,” ujarnya.

Kondisi tersebut pun sangat menyulitkan apabila delalan terdakwa disidangkan oleh majelis hakim yang sama. Ada baiknya majelis hakim ditambah dan dipecah setiap perkaranya, sehingga akan memudahkan persidangan.

“Selain itu, demi para saksi juga yang jika majelisnya tetap sama, mereka harus hadir tiga hari berturut-turut. Sebaliknya apabila majelis dipecah dan ditambah, tentunya pemanggilan para saksi dapat diatur secara silih berganti dan sidang lebih efektif,” katanya.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menyarankan, sebaiknya dalam proses pengadilan hukum perkara Asabri dilakukan secara terpisah. 

“Ini lebih baik dipisahkan sesuai dengan porsi, karena kasusnya beda sehingga tidak bisa dijadikan satu. Terlebih, ini kasus berat, korupsi triliunan,” ujar Trubus. 

Menurut dia, itu dilakukan agar dalam proses pembuktiannya lebih valid dan juga saksi-saksi yang dihadirkan lebih leluasa dalam memberikan kesaksian.

“Karena perkasusnya juga berbeda. Berkaca dari kasus 13 MI di Jiwasraya memang harus dipisahkan. Tidak bisa dengan cara disatukan seperti itu, nanti hakimnya tidak fokus, jadi putusannya kurang akurat,” ujarnya. 

Trubus mengatakan lebih tepat dan ideal jika setiap terdakwa disidangkan secara terpisah karena Asabri merupakan kasus yang besar dan nilainya triliunan.

“Jadi ini harus terpisah secara sendiri-sendiri dan diproses sesuai aturan yang berlaku sesuai dengan UU yang ada, alat bukti dan semuanya harus fight,” katanya.

Menurut dia, dengan pemisahan sidang perkara di tiap berkas terdakwa, maka proses pembuktian harus dilakukan secara adil, agar majelis hakim dalam putusannya sesuai dengan bukti yang ditunjukan. 

“Itu yang diperlukan, karena ini kan persoalannya tahap pembuktiannya adalah momen yang paling berat. Itu menurut saya agar keyakinan hakim tetap tinggi, jadi didalam proses pembuktian perlu adanya bukti-bukti yang valid dan akurat, tentu memerlukan tenaga serta pemikiran tidak sedikit,” ujarnya.

Sementara itu, Praktisi Hukum Bob Hasan mengatakan, seharusnya para terdakwa melalui kuasa hukum berjuang melalui peluang yang disediakan dalam proses eksepsi. Namun, sayangnya agenda tersebut telah terlalui. 

“Sehingga pelaksanaan persidangan yang menjadi perselisihan tersebut berujung pada penolakan keberatan tersebut, namun demi kelancaran proses penegakan hukum maka seharusnya majelis berkenan mendengarkan alasan para terdakwa yang meminta pemisahan proses persidangan,” katanya. 

Dia pun mencontohkan terkait kasus Manager Investasi dalam perkara Jiwasraya yang eksepsinya diterima oleh majelis hakim. 

“Contoh kasus koorporasi Manager Investasi, awalnya terjadi penggabungan atau penyatuan oleh jaksa dalam dakwaan pada satu nomor perkara. Setelah persidangannya dilakukan terpisah sesuai nomor perkaranya, saya yakin majelis, penuntut umum, kuasa hukum dan terdakwa dapat lebih fokus pada perkaranya masing-masing,” ujarnya.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini