Ilustrasi | IST

HARNAS.ID – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan perusahaan terbuka yang akan menjadi perusahaan tertutup (go private) untuk melakukan pembelian kembali (buyback) saham yang beredar di publik. 

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (POJK Pengganti PP 45/1995). 

Sayangnya, POJK teranyar itu dinilai tak sejalan dengan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diinisiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajarannya. Kritikan pertama datang dari Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad.

Suparji menilai bahwa kebijakan tersebut tidak relevan dan tidak proporsional. Pemerintah pun didesak harus melakukan intervensi dengan meminta OJK mencabut aturan tersebut.

Dia beralasan pandemi COVID-19 yang penuh ketidakpastian membuat sejumlah emiten mengalami kesulitan keuangan. Kondisi tersebut pun menjadi trigger makin terpuruknya perekonomian di Indoensia.

“Meski terkesan mengakomodir para investor di tengah kondisi investasi di pasar modal yang tak menentu pasca kasus Jiwasraya. Namun, POJK tersebut ternyata belum relevan dan tidak proporsional,” kata Suparji di Jakarta, Kamis (25/3/2021).

POJK ini bahkan dinilai sudah bertabrakan dengan program PEN yang visinya memberikan relaksasi terhadap kemudahan berinvestasi di masa sulit saat ini. 

“Masukan dari emiten maupun investor harus didengar. Oleh karena itu suara mereka bisa dijadikan fakta agar OJK mempertimbangkan untuk meninjau atau mencabut POJK tersebut,” ujar Suparji.

Apalagi, lanjut dia, program PEN yang ada saat ini belum optimal menjawab permasalahan ekonomi Indonesia saat ini. 

“Masalah ekonomi saat ini sangat kompleks sehingga PEN belum menunjukkan hasil signifikan. Jadi perlu ada terobosan baru, bukan menambah susah kondisi ekonomi emiten,” katanya.

Sementara itu, Analis Reliance Sekuritas Lanjar Nafi mengatakan, dengan adanya kewajiban untuk buyback saham, jika dilihat dari sisi emiten justru malah merugikan. 

“Karena ada kebijakan buyback, justru memberatkan emiten-emiten publik yang ingin melakukan go private. Dipastikan dari sisi emiten pasti merugi,” katanya.

Menurut dia, saat ini banyak kasus investasi yang menjerat sejumlah institusi besar. Maka jika dilihat portfolionya, banyak saham yang terancam delisting. 

Itu terjadi karena kondisi saat ini sudah menjadikan bisnisnya dianggap kurang perform, atau bahkan dari jatuhnya peminat investor untuk masuk di bursa saham. 

Kewajiban buyback saham publik itu berlaku bagi emiten yang melakukan penghapusan pencatatan secara sukarela (voluntary delisting) maupun yang terpaksa delisting (penghapusan pencatatan di papan bursa). Sebab, perintah OJK ataupun permohonan Bursa Efek Indonesia (BEI) alias forced delisting.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini