Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar | DOK LKPP

HARNAS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan tak sembarangan dalam memanggil dan memeriksa pihak yang diduga terlibat dan mengetahui suatu perkara korupsi. 

Tak terkecuali terhadap pemeriksaan pengamat politik Effendi Gazali dalam kasus dugaan suap pengadaan Bansos COVID-19. 

Penyidik lembaga antikorupsi memiliki dasar mengapa Effendi Gazali sebagai saksi untuk tersangka mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso, pada Kamis (25/3/2021).

Pemeriksan itu berangkat dari temuan atau bukti seperti keterangan saksi lain atau tersangka maupun bukti pendukung lain seperti dokumen, yang telah dikantongi penyidik KPK.

“Prinsipnya KPK tentu tidak gegabah memanggil seseorang untuk diminta keterangan dalam proses peradilan,” ujar  Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam keterangannya, Jumat (26/3/2021).

Namun demikian, Lili saat ini belum mau mengungkap secara gamblang terkait dasar pemeriksaan terhadap Effendi lantaran proses penyidikan kasus ini sedang berlangsung.

Pernyataan tersebut seakan menampik klaim Effendi Gazali usai diperiksa penyidik KPK. Dimana Ia mengklaim namanya tidak ada dalam berita acara pemeriksaan tersangka  Matehus Joko Santoso.

Effendi menyebut tuduhan jika dirinya memiliki kuota yang senilai puluhan miliar adalah data palsu. Dia juga menampik kecipratan uang terkait proyek bansos.

“Tadi sudah terbukti bahwa nama saya tidak ada di BAP-nya Matheus Joko,” ujar Effendi sebelum meninggalkan Gedung KPK, Jakarta.

Namun, Effendi tak membantah pernah berkomunikasi dengan tersangka dugaan suap terkait proyek pengadaan Bansos COVID-19, Adi Wahyono. Komunikasi itu terkait kuota paket Bansos COVID-19 di Kementerian Sosial yang digarap sejumlah perusahaan.

Komunikasi itu terjadi pada Juli 2020. Saat itu bertepatan dengan gelaran seminar riset bansos. Effendi kala itu mengingatkan jangan sampai proyek Bansos ini dimakan oleh ‘dewa-dewa’. Menurut dia, UMKM juga perlu dilibatkan dalam pengadaan Bansos ini.

“Jangan orang terzolimi dong, kan tidak semua orang itu apa namanya langsung jatahnya diambil dibagi-bagi sama yang besar-besar, yang itu kan tujuannya adalah UMKM dan dia tidak didirikan hanya pada saat proyek itu,” kata Effendi.

Terzolimi dalam konteks itu, klaim Effendi, lantaran UMKM kalah bersaing dengan ‘dewa-dewa’. Effendi lantas menyebut kuota yang semestinya diperuntukan buat UMKM sudah habis diambil oleh ‘dewa-dewa’.

“Ya kalah bersaing dengan dewa-dewa. Itu karna kuotanya sudah habis diambil oleh dewa-dewa,” ujar dia.

Effendi menampik komunikasi dengan Adi Wahyono itu terkait kuota paket yang dikerjakan CV Hasil Bumi Nusantara. Berdasarkan informasi yang dihimpun, CV Hasil Bumi Nusantara mengerjakan 162.250 paket pada tahap pertama dengan nilai kontrak Rp 48.675.000.000. Pada tahap ke-8, CV Hasil Bumi Nusantara mengerjakan 20.000, dengan pelaksana Susanti.

“Jangan berbicara 1 (vendor), kami waktu itu berbicara tentang banyak yang UMKM. Mengenai siapa (vendor) kemudian dapat berapa silakan tanya ke penyidik,” ujar Effendi.

Pun demikian, Effendi tak membantah penyidik KPK lebih banyak mendalami keterangannya soal kegiatan di Kemensos itu. Effendi juga tak membantah mengenal Adi Wahyono lantaran pernah mengajarnya. 

“Jadi lebih banyak membahas 23 juli 2020 ketika ada seminar nasional tentang riset bansos, saya pembawa acaranya lalu Ray Rangkuti ada beberapa lagi lah,” kata Effendi.

Sayangnya, Effendi tidak menjelaskan secara gamblang saat ditanya lebih jauh siapa yang dimaksud dengan ‘dewa-dewa’ itu. Effendi justru mempertanyakan, kapan pihak-pihak yang lebih besar atau ‘dewa-dewa’ terkait kasus Bansos ini dipanggil dan diperiksa oleh penyidik KPK.

“Saya sudah datang saya sudah dipanggil sudah memenuhi panggilan walaupun cuma di WA ya kan, saya datang yg besar-besar kapan nih dipanggilnya, silakan bapak dan ibu cari sendiri,” ujar Effendi.

Sementara itu, Plt Jubir KPK, Ali Fikri mengatakan, dalam pemeriksaan penyidik mendalami pengetahuan Effendi seputar pelaksanaan pengadaan bansos di Kemensos tahun 2020. KPK memiliki bukti jika Effendi merekomendasikan salah satu perusahaan untuk menjadi vendor atau rekanan dalam pengadaan bansos COVID-19. 

Rekomendasi itu disampaikan Effendi kepada mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos, Adi Wahyono yang kini menjadi tersangka penerima suap. 

“Effendi Gazali (Wiraswasta) didalami pengetahuannya terkait pelaksanaan pengadaan bansos di Kemensos tahun 2020, antara lain terkait adanya dugaan rekomendasi salah satu vendor yang diusulkan oleh saksi melalui Tsk AW untuk mengikuti pengadaan Bansos di wilayah Jabodetabek 2020 di Kemensos RI,” kata Ali.

Sayangnya, Ali belum membuka lebih jauh soal peran Effendi Gazali terkait rekomendasi itu. Pun termasuk soal identitas perusahaan yang direkomendasikan Effendi itu.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan eks Mensos Juliari P Batubara serta dua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai tersangka. Ketiganya diduga sebagai pihak penerima suap.

KPK juga menetapkan dua pihak swasta sebagai tersangka yakni Ardian Iskandar dan Harry Van Sidabuke yang diduga sebagai pemberi suap. Juliari bersama Adi dan Matheus diduga menerima suap senilai sekitar Rp 17 miliar dari Ardian dan Harry selaku rekanan Kemensos dalam pengadaan paket bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020. 

Perkara yang menjerat Ardian Iskandar dan Harry Van Sidabuke telah bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dalam persidangan Senin (15/3/2021) terungkap jika Juliari P Batubara pernah memerintahkan Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk mencoret perusahaan atau vendor yang tidak memberikan fee terkait proyek pengadaan bansos COVID-19. 

Adi dan Matheus diperintahkan tidak memberikan lagi proyek kepada perusahaan yang belum menyetorkan fee bansos. Perintah tersebut terungkap saat tim penasihat hukum terdakwa Harry Van Sidabukke membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Adi Wahyono. 

Dalam BAP itu disebutkan, pada Mei 2020, Juliari memanggil Adi Wahyono dan Kukuh Ary Wibowo yang juga staf khusus Mensos Juliari. Saat itu Juliari bertanya kepada keduanya soal realisasi permintaan fee sebesar Rp 10.000 per paket bansos kepada vendor penggarap proyek bansos.

“Target Juliari Batubara saat itu, adalah, saya (Adi Wahyono) dan Joko bisa memungut fee sebesar kurang lebih Rp 30 miliar pada tahap 1, 3, dan 6. Saya sampaikan bahwa pemintaan itu sedang diproses oleh Matheus Joko Santoso,” ujar tim penasihat hukum saat membacakan BAP Adi Wahyono di Pengadilan Tipikor.

Beberapa hari setelah permintaan tersebut, sebut dalam BAP Adi Wahyono, Juliari kembali memanggil Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso. Juliari saat itu bertanya kepada Matheus Joko soal fee yang dikumpulkan Matheus Joko. Saat pertemuan tersebut, Matheus Joko menyampaikan daftar perusahaan yang sudah menyetor uang.

“Kemudian, saat itu Juliari Batubara sambil menanyakan kepada Joko dan saya, kenapa ada perusahaan-perusahaan yang belum menyetorkan uang dengan cara bertanya ‘kenapa perusahaan ini belum?’ sambil coret-coret perusahaan dan saat itu Joko menjawab ‘ya yang ini belum’?” ujar tim penasihat hukum Harry.

“Kemudian atas arahan menteri tersebut, bahwa perusahaan yang belum menyetorkan uang, maka tidak usah diberikan di pekerjaan berikutnya. Apakah saksi tetap pada BAP ini? Atau saksi ingin merubah keterangan pada BAP ini?,” tanya tim penasihat hukum Harry kepada Adi Wahyono.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Adi mengaku tetap pada keterangannya. “Saya tetap konsisten pada BAP. Jadi tidak ada hubungannya dengan mencoret. Karena apa? Karena di halaman berikutnya sudah ada di BAP,” tegas Adi.

Tim penasihat hukum kembali melontarkan pertanyaan mengenai arahan Juliari mencoret vendor yang belum menyetorkan fee. “Pertanyaan saya apakah betul ada arahan dari Pak Menteri yang menyatakan bahwa perusahaan yang belum menyetorkan uang tidak usah diberikan pekerjaan berikutnya? Benar atau tidak?,” tanya tim penasihat hukum Harry.

Namun, Adi Wahyono kembali tidak tegas menjawab. Tim penasihat hukum Harry pun kembali bertanya hal serupa kepada Adi. Pertanyaan soal adanya permintaan Juliari agar vendor yang tak memberi uang agar tidak mendapatkan pekerjaan di tahap berikutnya.

“Itu jawaban yang tidak menjawab pertanyaan saya. Apakah betul ada arahan dari menteri, bahwa apabila perusahaan yang tidak memberikan uang tidak usah diberikan pekerjaan lagi?,” tanya tim penasihat hukum lagi.

“Ya, ada arahan pak,” kata Adi Wahyono menjawab pertanyaan penasihat hukum Harry.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini